Jumat, 27 Maret 2020

Prof. DR. Hamka


Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Hamka (bahasa Arab: عبد الملك كريم أمر الله‎; lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkiprah sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.

Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatra Barat untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan Sukarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Ia merampungkan Tafsir Al-Azhar dalam keadaan sakit sebagai tahanan.

Seiring peralihan kekuasaan ke Soeharto, Hamka dibebaskan pada Mei 1966[1]. Ia mendapat ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah di RRI dan TVRI. Ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Al-Azhar. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

Kehidupan awal
Masa kecil

Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka yang dijadikan museum sejak 2001, tempat Hamka lahir, diasuh dan tinggal bersama anduangnya selama di Maninjau
Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1326] di Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara, anak pasangan Abdul Karim Amrullah "Haji Rasul" dan Safiyah. Haji Rasul menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri, Fatimah yang kelak menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Kembali ke Minangkabau setelah belajar kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Haji Rasul memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya sendiri, Muhammad Amrullah adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah, anduang bagi Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian, dan pencak silat.

Di Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian untuk berdakwah. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padang Panjang, belajar membaca al-Quran dan bacaan shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa.[a] Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaanya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.

Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang membahas tentang syair dalam bahasa Arab.[2] Kendati kegiatannya dari pagi sampai sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil terkenal nakal. Ia sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya, diam-diam tidak datang ke surau untuk mengintip film bisu yang sedang diputar di bioskop.[3]

Perceraian orang tua   
Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orang tuanya. Walaupun ayahnya adalah penganut agama yang taat, kerabat dari pihak ibunya masih menjalankan praktik adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hari-hari pertama setelah orang tuanya bercerai, Malik tak masuk sekolah. Ia menghabiskan waktu berpergian mengelilingi kampung yang ada di Padang Panjang. Ketika berjalan di pasar, ia menyaksikan seorang buta yang sedang meminta sedekah. Malik yang iba menuntun dan membimbing peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah, hingga mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya marah saat mendapati Malik di pasar pada hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu." Malik sempat membolos selama lima belas hari berturut-turut sampai seorang gurunya di Thawalib datang ke rumah untuk mengetahui keadaan Malik. Mengetahui Malik membolos, ayahnya marah dan menamparnya.

Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali memasuki kelas belajar seperti biasa. Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang sebentar, berangkat ke Thawalib dan kembali ke rumah menjelang Magrib untuk bersiap pergi mengaji. Sejak ia menemukan bahwa gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy membuka bibliotek, perpustakaan persewaan buku, Malik sering menghabiskan waktunya membaca. Melalui buku-buku pinjaman, ia membaca karya sastra terbitan Balai Pustaka, cerita China, dan karya terjemahan Arab. Setelah rampung membaca, Malik menyalin versinya sendiri. Ia pernah mengirim surat cinta yang disadurnya dari buku-buku kepada teman perempuan sebayanya. Karena kehabisan uang untuk menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik Bagindo Sinaro, tempat koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung, untuk mempekerjakannya. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem sebagai perekat buku, sampai membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan. Dalam waktu tiga jam sepulang dari Diniyah sebelum berangkat ke Thawalib, Malik mengatur waktunya agar punya waktu membaca. Karena hasil kerjanya yang rapi, ia diperbolehkan membawa buku baru yang belum diberi karton untuk dikerjakan di rumah. Namun, karena Malik sering kedapatan sering membaca buku cerita, ayahnya menanyakan kepada dirinya apakah akan "menjadi orang alim nanti atau menjadi orang tukang cerita". Setiap mengetahui ayahnya memperhatikan, Malik meletakkan buku cerita yang dibacanya, mengambil buku agama sambil berpura-pura membaca.

Masjid Jamik Parabek
Permasalahan keluarga membuat Malik sering berpergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, melakukan perjalanan ke Maninjau untuk mengunjungi ibunya. Malik didera kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibu atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri." Mengobati hatinya, Malik mencari pergaulan dengan anak-anak muda Maninjau. Ia belajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah mendengar kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat musik tradisional Minangkabau. Ia berjalan lebih jauh sampai ke Bukittinggi dan Payakumbuh, sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Hampir setahun ia terlantar hingga saat ia berusia 14 tahun, ayahnya merasa resah dan mengantarnya pergi mengaji kepada ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, sekitar lima kilometer dari Bukittinggi. Di Parabek, untuk pertama kalinya Hamka hidup mandiri.

Di Parabek, Malik remaja berlajar memenuhi kebutuhan harian sebagai santri. Meskipun belajar menyesuaikan diri, Malik masih membawa kenakalannya. Malik pernah usil menakuti penduduk sekitar asrama yang mengaitkan wabah demam di Parabek dengan keberadaan hantu yang berwujud seperti hariamau. Karena tak percaya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut hanya takhayul, ia menyamar menyerupai ciri-ciri hantu pada malam hari. Dengan mengenakan sorban dan mencoret-coret mukanya dengan kapur, Malik berjalan keluar asrama. Orang-orang yang melihat dan ketakutan berencana membuat perangkap keesokan hari, tetapi Malik segera memberi tahu teman seasramanya tentang keusilannya, meyakinkan bahwa hantu itu tidak ada. Selama berasrama, Malik memanfaatkan hari Sabtu yang dibebaskan untuk keluar dengan pergi berkeliling kampung sekitar Parabek. Karena tertarik mendengar pidato adat, Malik sering menghadiri pelantikan-pelantikan penghulu, saat para tetua adat berkumpul. Ia mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato adat yang didengarnya.[4] Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru.[5][6]

Perantauan   
Penerimaan dan ibadah haji   
Merintis karier   
Pedoman Masyarakat   
Pendudukan Jepang dan pasca-kemerdekaan   
Pindah ke Jakarta   
Masjid Agung Al-Azhar   
Tuduhan plagiat dan makar

Hamka (duduk) bersama Natsir  dan Isa Anshary. Mereka sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Soekarno.
Kedekatan Hamka terhadap partai Masyumi menyebabkan Hamka ikut menjadi bulan-bulanan dari pihak PKI. Organisasi sayap PKI, Lekra menuduhnya sebagai "plagiator " dan pemerintah waktu itu menuduhnya sebagai orang yang akan berusaha melakukan makar. Pada September 1962, Lekra menuduh novel Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalah jiplakan dari karya pengarang Prancis Alphonse Karr Sous les Tilleus. Novel Sous les Tilleus diterjemahkan oleh Mustafa Lutfi Al-Manfaluti ke bahasa Arab. Pada tahun 1963, novel edisi Arab ini diindonesiakan AS Alatas dengan judul Magdalena.

Keadaan memburuk bagi Hamka ketika Panji Masyarakat memuat artikel Muhammad Hatta berjudul "Demokrasi Kita". Setelah penerbitan Panji Mayarakat berhenti sejak 17 Agustus 1960, tulisannya satu setengah juz dimuatkannya dalam majalah Gema Islam sampai akhir Januari 1962, yaitu dari juz 18 sampai juz 19. Ceramah-ceramah Hamka tiap subuh selalu dimuat secara teratur dalam majalah hingga Januari 1964.

Pada 27 Januari 1961, bertepatan dengan awal bulan Ramadhan 1383, kira-kira pukul 11 siang, Hamka dijemput di rumahnya, ditangkap dan dibawa ke Sukabumi. Ia dituduh terlibat dalam perencanaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Selama 15 hari ditahan, ia diintrogasi dalam pemeriksaan yang digambarkannya, "tidak berhenti-henti, siang-malam, petang pagi. Istirahat hanya ketika makan dan sembahyang saja." Melewati pemeriksaan yang kejam, Hamka sempat berpikir untuk bunuh diri. Karena jatuh sakit, Hamka dipindahkan dari tahanan ke RS Persahabatan. Selama perawatan di rumah sakit ini, Hamka meneruskan penulisan Tafsir Al-Azhar. Ia mengaku wajah-wajah jemaahnya yang terbayang ketika ia mulai mengoreskan pena untuk menulis tafsir

Hamka ditetapkan sebagai tahanan politik selama dua tahun sejak 28 Agustus 1964, diikuti tahanan rumah dua bulan dan tahanan kota dua bulan.

Orde Baru
Pada 30 November 1967, Pemerintah Indonesia menggagas diadakannya Musyawarah Antar Agama. Dalam musyawarah yang dihadiri pemuka agama yang diakui secara resmi di Indonesia, pemerintah mengusulkan pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama dan pernyataan bersama dalam piagam yang isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.” Badan Konsultasi Antar Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah gagal menyepakati penandatangangan piagam yang diusulkan pemerintah. Perwakilan Kristen merasa berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan kebebasan penyebaran Injil. Dalam pidatonya, A.M. Tambunan menyampaikan pendirian umat Kristiani bahwa menyebarkan Pekabaran Injil kepada orang yang belum Kristen adalah "Titah Ilahi yang wajib dijunjung tinggi". Meskipun Musyawarah Antar Agama dianggap gagal oleh banyak pihak, Hamka menganggap musyawarah itu berhasil karena telah mengungkap "apa-apa yang selama ini belum terungkapkan secara gamblang".

Setelah bebas dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam beberapa pertemuan internasional. Pada 1967, ia berkunjung ke Malaysia atas undangan Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman. Pada 1968, ia menghadiri Peringatan Masjid Annabah di Aljazair. Dari Aljazair, ia mengunjungi beberapa negara seperti Spanyol, Roma, Turki, London, Saudi Arabia, India, dan Tahiland. Pada 1969, bersama KH Muhammad Ilyas dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Anwar Tjokromaminoto, Hamka mewakili Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam membahas konflik Palestina-Israel di Rabat, Maroko.

Dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September–4 Oktober 1970, Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah, mengapungkan gagasan pembentukan Majelis Ulama. Meskipun mendapatkan dukungan Menteri Agama KH Muhammad Dahlan, sejumlah ulama dan tokoh Islam, seperti Mohammad Natsir dan Kasman Singodimedjo melihat bahwa lembaga itu hanya akan menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam. Namun, Hamka memandang penting pembentukan Majelis Ulama perlu sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Menurutnya, Majelis Ulama dapat mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam. "Mereka berani mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena ketegasan pendiriannya itu, ia akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya ia pun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan yang benar, walaupun karena itu ia pun akan dibenci oleh rakyat," tulis Hamka dalam Panji Masyarakat pada 1 Juli 1974.

Pada 1971, Hamka menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan membawa paper tentang Muhammadiyah di Indonesia. Pada 8 Juni 1974, Hamka menerima gelar kehormatan Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada 1975, ia menghadiri Muktamar Masjid di Mekkah. Pada 1976, ia menghadiri Konferensi Islam di Kucing, Serawak, Malaysia Timur. Pada 1976, ia mengikuti Seminar Islam dan Kebudayaan Malaysia di Universitas Kebangsaan Malaysia dengan paper "Pengaruh Islam pada Kesusastraan Melayu". Pada 1977, ia menghadiri Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Muktamar Ulama (Al-Buhust Islamiyah) di Kairo. Di Lahore, Hamka menyampaikan makalahnya tentang Muhammad Iqbal, menyoroti pengaruh Iqbal dalam membawa identitas Muslim pada Jinnah.[38]

Ketua MUI
Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk pada 26 Juli 1975, Hamka dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MUI.[39] Pada hari itu pula, Hamka berpidato pertama kali sebagai Ketua MUI. Ketika ia menyampajkan pidato saat pelantikan dirinya, Hamka menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya ulama. Ia menyadari bahwa dirinya memang populer, "tapi kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa saya yang lebih patut." Ia menjelaskan posisi MUI dengan pemerintah dan masyarakat terletak di tengah-tengah, "laksana kue bika" yang "dibakar api dari atas dan bawah". "Api dari atas ibarat harapan pemerintah, sedangkan api dari bawah wujud keluhan umat Islam. Berat ke atas, niscaya putus dari bawah. Putus dari bawah, niscaya berhenti jadi ulama yang didukung rakyat. Berat kepada rakyat, hilang hubungan dengan pemerintah."

Meski berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat gencar, ia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Sebagai Ketua MUI, ia meminta agar ia tidak digaji. Ia memilih menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI alih-alih berkantor di Masjid Istiqlal. Selain itu, ia meminta agar diperbolehkan mundur, apabila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Pemerintah bersedia mengakomodasi permintaan Hamka.

Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto sejak mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia selalu menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Hamka sebagai Ketua MUI pada 21 September 1975 menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam surat Al-Mumtahinah ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Quran orang Islam itu hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. "Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri." MUI telah menerima anjuran pemerintah tentang kerukunan umat beragama.

Pada 1978, Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadhan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.

Fatwa MUI dan pengunduran diri
Pada 7 Maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman perayaan Natal bagi umat Islam. Fatwa itu keluar menyusul banyaknya instansi pemerintah menyatukan perayaan Natal dan Lebaran lantaran kedua perayaan itu berdekatan. Hamka membantah perayaan Natal dan Lebaran bersama sebagai bentuk toleransi. "Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Quran atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu adalah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima." Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia mencatat, Hamka menyebut perayaan Natal dan Lebaran bersama bukan bentuk toleransi, tetapi memaksakan kedua penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik. Dalam khutbahnya di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka menyampaikan, "haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri upacara Natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti ia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik."

MUI memfatwakan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam hukumnya haram, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa karena Natal tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan peribadatan. Namun, keluarnya fatwa MUI menulai kecaman dari pemerintah. Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara meminta fatwa MUI dicabut karena dianggap mengusik kerukunan antara umat Islam dan Kristen. Menurut Ketua Komisi Fatwa Syukri Ghozali, sebagaimana dikutip Tempo, fatwa itu sebenarnya dibuat agar Departemen Agama menentukan langkah dalam menyikapi Natalan-Lebaran yang kerap terjadi. Namun, fatwa itu menyebar ke masyarakat sebelum petunjuk pelaksanaan selesai dibuat Departemen Agama. Menyikapi hal itu, Hamka mengeluarkan surat keputusan (SK) mengenai penghentian edaran fatwa. Dalam surat pembaca yang ditulis dan dimuat oleh Kompas 9 Mei 1981, Hamka menjelaskan SK itu tak mempengaruhi kesahihan fatwa tentang perayaan Natal. "Fatwa itu dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian aqidah Islamiyah."

Menanggapi tuntutan pemerintah untuk mencabut fatwa, Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dalam buku Mengenang 100 Tahun Hamka, Shobahussurur mencatat perkataan Hamka. "Masak iya saya harus mencabut fatwa," kata Hamka sambil tersenyum sembari menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama. Mundurnya Hamka dari MUI mengundang simpati masyarakat Muslim pada umumnya. Kepada seorang sahabatnya, M. Yunan Nasution, Hamka mengungkapkan, "waktu saya diangkat dulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram dan surat-surat yang isinya mengucapkan selamat."

Caca juga artikel berikut ini

Politik

Debat Kedua Capres di Mata Netizen, Jokowi Disorot Salah Data, Prabowo Soal Unicorn Debat kedua Pilpres 2019. ©Liputan6.com/Faizal...