Sabtu, 16 Desember 2023

Palestina Abad 19





Palestina Abad 19: Bagaimana Mungkin Ia Tanah Tak Bertuan
Reading Time: 9 mins read
101VIEWS



We have on this earth what makes life worth living
the aroma of bread at dawn
a woman’s opinion of men
the works of Aeschylus
the beginnings of love grass on a stone
mothers who live on a flute’s sigh
and the invaders’ fear of memories
we have on this earth what makes life worth living
on this earth, the lady of earth
the mother of all beginnings
the mother of all endings
she was called Palestine
she came to be called Palestine
o lady, because you are my lady
I am worthy of life
(Mahmoud Darwish, On This Earth )

Palestina adalah tanah yang indah. Lembah-lembahnya dihiasi pohon-pohon hijau, dan aliran sungai menambah kesuburannya. Palestina diapit oleh Laut Mediterania di sisi baratnya dan Sungai Yordan di sisi timurnya, menambahkan kecantikan tanahnya juga nilai strategis wilayahnya. Namun lebih dari itu, Palestina adalah tanah bertuan. Pohon-pohon zaitun berusia ratusan tahun yang memenuhi setiap sisi sudut tanahnya adalah salah satu tandanya, sebab zaitun tidak bisa hidup tanpa ada ‘tuan’ yang mengurusnya.

Baca Juga





Sebelum direbut Inggris dan dijajah Israel, Palestina berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani (sejak 1516 hingga awal Perang Dunia pertama pada 1916). Pada masa itu Palestina menjadi bagian dari wilayah Great Syria yang merupakan kawasan aktif. Palestina menjadi denyut nadi perekonomian saat itu, yang detaknya dapat dirasakan hingga Asia, Afrika, dan Eropa.


Palestina merupakan tanah yang diolah oleh masyarakat yang memiliki peradaban tinggi; masyarakat yang aktif, produktif, kreatif, bahkan berpendidikan. Palestina telah masuk ke dalam arus modernisasi yang telah terjadi di sebagian dunia pada saat itu. Namun, perang mengubah segalanya. Jatuhnya Palestina ke tangan Inggris yang dilanjutkan penjajahan oleh Israel, telah menghambat–jika tidak ingin dikatakan menghentikan–perekonomian, sosial hingga politik Palestina yang pernah berkembang secara luar biasa.

Kekalahan Turki Utsmani pada Perang Dunia I telah membuka peluang bagi sekutu untuk membagi-bagi wilayah kekuasaannya, termasuk Palestina secara sepihak. Pada tahun 1916, melalui Perjanjian Sykes-Picot, Inggris dan Perancis secara sembunyi-sembunyi membagi wilayah dua Great Syria untuk mereka. Wilayah Palestina masuk ke dalam kekuasaan Inggris, tetapi Al-Quds menjadi wilayah internasional.
Peta yang menunjukkan wilayah Timur Tengah yang dibagi menjadi wilayah kontrol Inggris dan Perancis. Palestina menjadi bagian dari Inggris, namun Al-Quds menjadi wilayah internasional. (Sumber gambar: www.abc.net.au)

Klaim bahwa Palestina tanah tidak bertuan adalah suatu kebohongan sistematis yang dibentuk oleh para Zionis untuk melakukan penjajahan. Dua abad sebelum terbentuknya zionisme Yahudi oleh Theodore Herzl pada abad ke-19, Zionis Kristen atau Zionis non-Yahudi telah datang ke tanah Palestina untuk melakukan klaim palsu bahwa Palestina adalah tanah tak bertuan yang hanya dihidupi oleh suku badui dan petani yang tidak memiliki peradaban. Mereka mengeluarkan klaim bahwa tidak ada yang berharga di Palestina. Klaim yang sama kemudian juga digaung-gaungkan oleh Herzl bahwa Palestina adalah “tanah yang dijanjikan” bagi bangsa Yahudi. “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah,” demikian slogan yang selalu diusung.
Koran New York Tribune menerbitkan tulisan dengan judul “The Birth of New Nations Palestine.” (Sumber Gambar: Wikipedia)

Namun, klaim bahwa Palestina adalah tanah tak bertuan merupakan kebohongan besar. Palestina merupakan tanah yang hidup dan semarak, dengan berbagai aktivitas perdagangan dan adanya infrastruktur komunitas di dalamnya. Sejak abad ke-18 dan 19, telah terjadi pengiriman gandum dan kapas dari pelabuhan Palestina di Kota Akka (Acre) menuju Italia dan wilayah Perancis Selatan. Perdagangan yang terjadi di abad 18 telah membawa transformasi terhadap pertanian dan industri di Palestina, yang awalnya swasembada kemudian mampu mendongkrak produksi mereka untuk dikirim ke pasar internasional. Hal ini sekaligus membawa Palestina ke dalam jalinan hubungan yang lebih jauh dengan kota-kota besar dan ribuan wilayah pedesaan. Ikatan antara peningkatan perdagangan internasional serta perkembangan kapitalisme di Eropa dan kebutuhan Inggris terhadap kapas bagi industrinya telah mengantarkan Palestina ke dalam modernisasi awal.


Penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi maupun pertanian telah meningkatkan hasil pertanian Palestina secara signifikan. Palestina saat itu melakukan ekspor produk kapas, minyak zaitun, gandum, dan sabun. Lebih jauh lagi, Palestina pernah memonopoli ekspor kapas, minyak zaitun, dan gandum ke Eropa hingga memberikan hasil yang signifikan bagi terkumpulnya modal baru yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan wilayahnya. Berdasarkan berbagai referensi sejarah, terjadi perkembangan wilayah di desa-desa dan kota-kota Palestina, bahkan kemunculan wilayah-wilayah permukiman yang baru.
Hubungan dagang internasional telah terjalin antara Palestina dan dunia internasional pada abad 18 dan 19, yang mengindikasikan kemajuan Palestina saat itu. Palestina telah mengekspor barangnya ke berbagai penjuru. (Sumber Gambar: Youtube Aljazeera).

Kemajuan Palestina pada abad ke-18 juga terekam dalam dokumen-dokumen sejarah.. Thomas Salmon, seorang ahli geografi Inggris dan penulis sejarah Modern, menggambarkan Palestina dalam bukunya London Modern Gazetteer (hlm. 65) tahun 1747, “…. PALESTINE, a part of Asiatic Turkey, is situated between 36 and 38 degrees of E. Longitude] and between 31 and 34 degrees of N. Latitude, bounded by the Mount Libanus, which divides it from Syria, on the North, by mount Hermon, which separates it from Arabia Deserta, on the East, by the mountains of Seir, and the deserts of Arabia Petraea, on the South, and by the Mediterranean Sea on the West, so that it seems to have been extremely well secured against foreign invasions … It is generally a fruitful country, producing plenty of corns, wine, and oil where it is cultivated.”


Pada 1920, ketika Palestina dalam jajahan Inggris, Palestina bukanlah tanah tanpa kehidupan. Palestina telah memasuki periode globalisasi, dengan wilayah Yaffa, Haifa, dan Al-Quds (Yerusalem) yang menjadi pusat perdagangan dan bisnis., Melalui pelabuhan kota, wilayah-wilayah tersebut tersebut melakukan ekspor ke Italia, Mesir, dan Yunani.

Pada akhir abad ke-19, Palestina membangun berbagai infrastruktur transportasi, salah satunya adalah jalur kereta api yang bertujuan untuk menghubungkan kota-kota pelabuhan dengan kota-kota lainnya. Pada 1891, Turki Utsmani membangun stasiun kereta di Al-Quds (Yerusalem), Yaffa, dan kota-kota lainnya. Kondisi ini menyebabkan bisnis semakin berkembang pesat dan mendatangkan kesejahteraan bagi Palestina.


Stasiun kereta Al-Quds dibuka pertama kali pada 1892 oleh Turki-Utsmani. Bentuk aslinya identik dengan Stasiun Kereta Yaffa yang dibangun pada 1891. Dua stasiun ini juga mirip dengan Terminal Sirkeci di Istanbul yang dibangun pada 1890. Stasiun Al-Quds mengalami penambahan atap berbentuk segitiga pada masa Mandat Inggris. Gambar ini menampilkan kondisi ketika kereta dari Stasiun Yaffa untuk pertama kalinya tiba di Stasiun Al-Quds


Stasiun Yaffa adalah stasiun kereta api pertama di Timur Tengah, berfungsi sebagai terminal kereta api Yaffa–Al-Quds. Stasiun yang terletak di lingkungan Manshiya di Yaffa ini diresmikan pada 1891 dan ditutup pada 1948, tahun yang menandai terjadinya Nakba.

Pada paruh kedua abad ke-19, pemerintahan Turki Utsmani membangun jaringan transportasi di Palestina secara luas. Transportasi laut yang dibangun menghubungkan Yaffa ke berbagai negara-negara Arab terdekat, seperti Lebanon dan Mesir. Demikian pula proyek kereta api yang semakin berkembang. Melalui kereta, masyarakat dapat berpindah dengan lebih cepat ke dan/atau dari wilayah Yaffa, Haifa, Beirut, Damaskus, Gaza, dan Kairo.


Yaffa berkembang menjadi kota kota industrial yang produktif di Palestina. Ada berbagai toko pandai besi, dengan banyak pekerja di dalamnya. Ada pula pabrik ubin yang tingginya mencapai 11 lantai. Pada 1920 dibangun Menara Jam yang hingga saat ini masih berdiri di pusat kota Yaffa.
da masa tersebut menandakan kemajuan wilayah Palestina pada masa tersebut. (Sumber Gambar: www.palestineremembered.com.)

Menurut Ismael Abu Shedah (yang dahulu merupakan penduduk Yaffa, sebelum akhirnya terusir akibat Nakba), Yaffa adalah kota utama di Palestina, tetapi kemudian posisi ini diambil alih oleh Haifa. Kota ini menjadi mengalami perkembangan pesat setelah dibangunnya jalur kereta api yang menghubungkan Haifa dengan Hijaz (Madinah). Hal lain yang signifikan adalah keterkaitan rute perairan Haifa yang menghubungkan dengan Mesir dan Eropa. Selain itu, terdapat pangkalan minyak di Haifa yang berdiri pada 1938.
Foto kilang minyak di Haifa tahun 1949. sumber gambar: www.icp.org.

Keadaan tersebut menyebabkan Haifa menjadi jalur lalu lintas ekspor dan impor yang tinggi dan memiliki koneksi kuat yang menghubungkan kotanya dengan 3 benua, yakni Afrika, Asia bahkan ke Eropa. Haifa menjadi kota yang terbuka bagi siapa saja, termasuk investor. Para investor yang biasa melakukan investasi di wilayah Beirut, Sidon, dan Tyre (Lebanon) juga melakukan investasi ke wilayah Akka, Haifa, Jaffa, Al-Quds (Yerusalem), dan Gaza. Ada pula investasi lintas Palestina yang dilakukan oleh para pedagang dari Nablus, Hebron, Al-Quds dan Gaza.

Kereta yang terlambat lima menit di Haifa akan menjadi berita utama di surat kabar yang ada saat itu. Hal ini karena keterlambatan yang dialami akan memberikan pengaruh terhadap bisnis yang mereka jalankan. Kota-kota yang ada di Palestina terkenal karena manufaktur; Nablus dengan manufaktur sabunnya, Hebron dengan kerajinan kulitnya, Akka dengan konstruksi dan minyak, Yaffa merupakan penghasil metal untuk bus dan berbagai kendaraan lainnya. Palestina bahkan memproduksi barang-barang mewah hingga dealer mobil. Pendidikan juga berkembang pesat. Pada paruh kedua abad ke 19, sekolah modern telah berdiri di Yaffa.
Zionis dan Rencana yang Menjadi Malapetaka Bagi Palestina

Palestina bukanlah tanpa orang Yahudi. Di bawah pemerintahan Utsmani, Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan. Pada kisaran 1882–1919 terdapat 2000 Yahudi di Yaffa, tetapi jumlah ini berkembang setelah propaganda Zionis untuk mengambil alih Palestina dilegalkan sedikit demi sedikit melalui berbagai perjanjian. Inggris mendatangkan orang-orang Yahudi dari seluruh penjuru. Setidaknya ada 10.000 imigran Yahudi yang datang secara ilegal. Mereka langsung dijadikan penduduk palestina dan diberi paspor Palestina. Pemukiman-pemukiman Yahudi mulai dibangun di Yaffa, kota penting Palestina yang nantinya diambil alih secara brutal oleh Zionis.

Sebenarnya, kehadiran gerakan Zionis Kristen telah ada sejak dua abad yang lalu, jauh sebelum kehadiran gerakan Zionis Yahudi, untuk mengklaim secara salah bahwa Palestina adalah tanah kosong tanpa manusia, hanya ada beberapa suku badui dan petani-petani yang tidak memiliki peradaban dan pertanian. Mereka mengklaim bahwa tidak ada yang berharga di Palestina. Theodore Herzl termasuk orang yang menggaungkan klaim palsu ini.

Ketika Zionis telah berkomitmen untuk melakukan ethnic cleansing terhadap bangsa Palestina dalam peristiwa Nakba 1948 yang memaksa ratusan ribu orang terusir dari rumahnya, seluruh institusi, infrastruktur, tempat tinggal, bangunan dan lainnya menjadi hal yang menguntungkan bagi imigran dan pemukim ilegal Yahudi yang datang dari seluruh penjuru dunia. Institusi inilah yang digunakan Israel untuk menopang dirinya sebagai negara yang baru lahir. Jika Palestina adalah tanah tanpa tuan atau setidaknya masyarakatnya masih primitif, hampir mustahil Israel dapat membentuk institusi negara dengan segala kemajuannya dalam waktu singkat.


Dengan kemajuan yang telah dicapai oleh Palestina hingga abad ke 19, peristiwa Nakba pada 15 Mei 1948 adalah sebuah hal yang telah direncanakan secara matang. Seluruh hal telah diperhitungkan. Masyarakat Palestina telah membangun infrastrukturnya, tidak hanya di Haifa, tetapi juga di Yaffa, Akka,Safad, Tiberias hingga Bissan. Palestina juga telah membangun institusi-institusi yang dibutuhkan oleh negara. Bangsa Palestina telah membangun negaranya.

Sebelum terjadinya Nakba 1948, di bawah periode Mandat Inggris, jumlah imigran Yahudi yang datang ke Palestina melonjak. Populasi Yahudi di Palestina yang awalnya hanya 6 persen pada 1918, menjadi 33 persen pada 1947. Demikian pula ketika pembersihan etnis Palestina terjadi di pusat-pusat kota pada 1948 dan 1949 dan semakin banyak imigran Yahudi yang datang secara tiba-tiba ke Palestina. Mereka semua langsung menempati rumah-rumah milik penduduk Palestina yang telah terusir ataupun terbunuh. Jika Zionis sebelumnya tidak memikirkan hal ini secara cermat, maka mereka akan menghadapi banyak tantangan ataupun masalah. Apalagi terkait persoalan kedatangan imigran yang jumlahnya mencapai 10.000 lebih.Yahudi asal Eropa yang menjadi survivor holocaust dan pergi dengan kapal ilegal ke Pelabuhan Haifa, Palestina, pada tahun 1946. Sumber gambar: www.haaretz.com.

Migrasi Yahudi ke Palestina yang naik dari tahun ke tahun. Sementara itu, pada 1948 (hingga kini), bangsa Palestina dipaksa untuk meninggalkan tanahnya karena aksi kekerasan yang dilakukan Israel. (Sumber gambar: www.aljazeera.com)

Mereka mengambil bangunan-bangunan hingga sekolah-sekolah yang ada di seluruh wilayah Palestina yang mereka jajah untuk melanggengkan proyek Zionis mereka. Ismail Abu Shehadeh (mantan penduduk Yaffa yang terusir pada 1948) mengatakan dalam film dokumenter Aljazeera, bahwa apa yang terjadi pada 1948 merupakan sebuah hal brutal dan tidak dapat dijelaskan. Ia menceritakan tentang apa yang ia lihat dengan mata kepalanya, bukan tentang yang ia dengar. Pada saat Nakba terjadi, hanya 30 keluarga yang tetap memilih tinggal di Yaffa. Ini menandakan dahsyatnya kekejaman yang dilakukan Israel terhadap penduduk kota tersebut.

Setidaknya 15.000 orang Palestina dibunuh, 418 kota dan desa dihancurkan, dan 800.000 orang Palestina terusir dari kampung halamannya. Zionis merampas 4,3 juta hektar (78%) tanah Palestina, mengakibatkan Palestina menjadi bangsa yang terusir dengan jumlah pengungsi terbanyak di dunia, yaitu 5,4 juta jiwa (74%).

Zionis memaksa orang-orang Palestina untuk meninggalkan tanah mereka, merampas lahan-lahan pertanian, pabrik-pabrik, rumah-rumah, mobil-mobil, barang-barang, taman-taman, berbagai dokumen, bioskop-bioskop, hingga bank-bank yang ada. Seluruh properti yang terpaksa ditinggalkan oleh penduduk Palestina, dicuri oleh Israel tanpa sisa. Bahkan pemakaman-pemakaman, tempat-tempat suci, masjid-masjid dan gereja-gereja pun diambil alih dan dikontrol oleh Israel.
(Sumber gambar: Visualizing Palestine)

Israel membuat batas-batas baru yang menyebabkan negara Palestina terputus hubungannya dengan negara-negara Arab karena Israel mendeklarasikan mereka sebagai negara musuh. Zionis sudah merencanakan dengan matang pencurian besar-besaran yang mereka lakukan terhadap Palestina, termasuk usaha untuk melegalisasi pencuriannya tersebut.

Secara alamiah, orang takut terhadap pengeboman, ledakan-ledakan, aksi-aksi kriminal dan terorisme. Oleh karena itu, ketika pasukan paramiliter Israel Haganah yang memasuki desa-desa dan kota-kota Palestina yang melakukan aksi-aksi terorisme, bangsa Palestina memiliki hak untuk melindungi diri mereka dengan berpindah ke tempat lain yang aman. Pada saat yang bersamaan, mereka memiliki hak yang dijamin oleh hukum internasional untuk kembali ke rumah-rumah, bisnis-bisnis dan pabrik-pabrik mereka. Namun, Israel mengabaikan hak tersebut dengan merampas seluruh properti dan barang-barang rakyat Palestina.

Nakba sebenarnya bukan terjadi pada 1948, melainkan telah dimulai jauh pada tahun-tahun sebelumnya ketika Napoleon mengepung Kota Akka, Palestina pada tahun 1799, dan menawarkan Palestina sebagai tanah air bagi orang Yahudi di bawah perlindungan Perancis. Nakba juga tidak seketika berhenti pada 1948, tetapi terus terjadi pada tahun-tahun sesudahnya, bahkan hingga detik ini. Pertanyaannya, sampai kapan Nakba akan kita biarkan terus berlangsung?




Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.

Penulis merupakan Ketua Departemen Resource Development and Mobilization (RDM) Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.

Sumber referensi:Aljazeera, “Palestine 1920: The Other Side of Palestinian Story” diakses dalam laman https://www.youtube.com/watch?v=QUCeQt8zg5o
Nur Masalha, “Palestine: A Four Thousand Year History,” 2018, London: ZED Books.
Fitriyah Nur Fadilah, “Nakba, Malapetaka yang Terus Berlangsung,” https://adararelief.com/nakba-malapetaka-yang-terus-berlangsung/.
Mohammed Haddad, “Palestine and Israel: Mapping an annexation,” https://www.aljazeera.com/news/2020/6/26/palestine-and-israel-mapping-an-annexation
MEE, “What is the Nakba? Day of catastrophe for Palestinians, explained”, https://www.middleeasteye.net/news/what-is-nakba-palestine-israel-conflict-explained-1948

***

Kunjungi situs resmi Adara Relief International

Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.

Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini

Baca juga artikel terbaru, klik di sini

Caca juga artikel berikut ini

Politik

Debat Kedua Capres di Mata Netizen, Jokowi Disorot Salah Data, Prabowo Soal Unicorn Debat kedua Pilpres 2019. ©Liputan6.com/Faizal...